Manusia sebagai subyek hukum dikatakan juga sebagai pembawa
hak atau pendukung hak. Sebagai subyek hukum manusia mempunyai hak dan
kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan dalam lapangan hukum, seperti
mengadakan perjanjian jual beli,mengadakan pernikahan, mengadakan pembagian
warisan, dan sebagainya.
Dalam ilmu pengetahuan hukum barat, manusia sebagai pembawa
hak atau sebagai subyek hukum dinamakan juga “persoon”.
Soediman Kartohadiprodjo ( 1987: 77 ) menyatakan, bahwa
kedudukan hak pada manusia adalah sedemikian rupa yang meskipun dikurangi oleh
undang-undang atau putusan hakim atau dibatasi oleh undang-undang, tetapi
mengurangi atau membatasi ini tidak dapat sedemikian sehingga orang yang
bersangkutan itu kehilangan seluruh haknya sebagai orang ( pasal 1 KUH Perdata
).
Tiap manusia merupakan orang yang karena terbawa oleh
keadaan bahwa ia manusia. Karena itu orang yang bercorak manusia itu disebut orang asli ( natuurlijke persoon
), sebagai lawan subjek hukum lainnya, yaitu badan hukum ( recht persoon).
Setiap manusia itu
adalah orang, ini mengandung arti, bahwa :
- Tidak dikenal adanya perbedaan yang berdasarkan agama, baik agama Islam, agama Kristen, agama Hindu, agama Budha dan sebagainya, mereka itu merupakan orang.
- Antara kelamin yang satu dengan yang lainnya tidak diadakan perbedaan pula, baik wanita maupun laki-laki.
- Tida pandang pula, apakah ia seorang kaya atau miskin, mereka mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dalam masyarakat.
- Tidak pandang apakah manusia itu warga negara atau orang asing. Jadi kalau sampai hukum perdata barat ini berlaku bagi orang asing, maka dia dianggap sebagai orang.
Menurut Agus Somawinata ( 1996 : 9 ) yang dimaksud dengan
subyek hukum adalah pendukung hak-hak perdata dan kewajiban-kewajiban perdata
subyek atau pendukung dari hubungan hukum ialah hubungan hukum perdata yang
mempunyai hak perdata. Jadi badan pribadi atau persoon adalah subyek hak yang
wenang berhak ( mempunyai
kewenangan berhak), yaitu wenang untuk menjadi pendukung hak-hak dan
kewajiban-kewajiban perdata.
Dengan demikian kita dapat menerima secara gamblang, bahwa
setiap manusia dalam kedudukannya sebagai subyek hukum mempunyai wewenang
hukum, yaitu wewenang untuk memiliki hak-hak subyektif, di mana hak-hak
keperdataan tersebut tidak tergantung atau digantungkan kepada hak-hak
kewarganegaraan. Menurut Achmad Sanusi ( 1984 : 162 ) hak-hak subyektif yang
dimilki oleh setiap manusia dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Mutlak, yaitu hak-hak subyektif yang dapat dilaksanakan
terhadap setiap orang, dibalik wewenang daripada yang mempunyai hak, terdapat
kewajiban bagi setiap orang lain untuk menghormati hak tersebut. Selanjutnya
dikatakan, bahwa hak mutlak ini dapat dibagi 4, yaitu :
- Hak-hak kepribadian atas jiwa, badan, kehormatan dan nama
- Beberapa hak kekeluargaan seperti hak orang tua, hak perwalian dan hak marital
- Hak-hak kebendaan (sebagian dari hak kekayaan ), seperti hak eigendom, baik atas benda berujud ataupun tidak berujud.
- Hak-hak atas barang-barang inmaterial, seperti hak mengarang, hak otroi dsb.
2. Nisbi, yaitu hak-hak kekayaan dan kekeluargaan yang tidak
termasuk sebagai hak mutlak
Berlakunya kedudukan manusia sebagai pembawa hak adalah
sejak dia dilahirkan sampai dia meninggal dunia, bahkan jika hukum memerlukan,
misalnya untuk kepentingan pembagian warisan, maka sejak dalam kandunganpun
berlakulah manusia sebagai pembawa hak, dengan catatan saat dia dilahirkan
dalam keadaan hidup, sungguhpun hanya beberapa menit saja. Hal ini sebagaimana
dinyatakan oleh Pasal 2 KUH Perdata, bahwa anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan , bilamana juga
kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkan nya, dianggaplah ia
tak pernah telah ada
Sumber : Drs._H._Dadang_Sundawa,_M.Pd
No comments:
Post a Comment